Selasa, 12 November 2013

cerpen


Seribu Origami Untukmu

Hmmm… kutarik helai nafas panjang di pagi itu. Udara terasa sejuk saat mentari mulai mengedipkan sinarnya ke bumi. Saat itu pula aku berfikir bagaimana cara untuk memulai hari. Huuuhhh…. sudahlah, dan akhirnya aku berangkat dengan langkah kaki yang pasti menuju bangku tempatku meniti kehidupan yang lebih baik. Disana, aku menemukan teman, sahabat dan kenangan. Dan disanalah aku juga menemukan apa arti kasih sayang yang tulus dari sebuah cinta.

Sesaat sampai di sekolah, aku melihat sesuatu yang membuat otakku seolah berhenti untuk berfikir dan hanya tersenyum saat melihatnya. Tanpa kusadari dia adalah teman baru sekelasku dan saat itu pula dia duduk tepat di sampingku. Namanya Dinda, saat dipanggil oleh wali kelasku yang baru. Manis, tak banyak ngomong, perhatian, anggun dan peduli, itu adalah kesan pertama yang kudapat dari dinda.

Di parkiran sekolah aku bertemu dengannya dan mengajak berkenalan, ternyata dia adalah pribadi yang welcome dan menyenangkan. Waktu ke waktu selalu kuhabiskan dengannya di kelas begitu juga dengannya. Dan aku semakin mengerti, apa artinya memberi tanpa harus diberi. Bercanda bersama, makan bersama di pinggir jalan, naik gunung bersama, naik sepeda bersama, sampai kehujanan berdua pun telah kita lalui.

Tak terasa 1 tahun aku telah bersamanya walaupun tak memilikinya. Mungkin dia tidak pernah tahu perasaanku dengannya kini telah berubah. Mungkin seluas langit, ketika dia tahu besarnya rasaku. Aku sadar, aku hanya setetes air dalam hujan. Masih banyak manusia yang lebih pantas memilikinya. Mungkin terlalu munafik ketika kita berbicara cinta tak harus memiliki, dan aku tak memungkirinya. Kerena hal teridah dalam hidup adalah ketika kita dicintai orang yang kita cintai. Mungkin terlalu naif, namun itulah kenyataannya.

Suatu ketika aku tahu bahwa orang yang aku sayangi telah bersama orang lain yang aku kenal. Tenyata orang lain itu adalah sahabatku, dan dia juga menyimpan rasa kepada dinda. Aku hanya tersenyum melihatnya, karena senyuman ini adalah tangisanku yang terbungkam. Saat itu juga aku merasa menjadi abu yang berterbangan entah tak tahu kemana. Aku mulai memahami keadaan ini dengan keadaanku, bahwa sesuatu yang berada di dekat kita bukan berarti milik kita.

Seiring waktu aku telah berubah menjadi manusia tanpa harapan. Mungkin dinda menyadari ketika aku tak seperti biasanya. Mungkin waktu juga berbicara padanya tentang perasaanku. Dia hanya diam, namun aku tak mengerti apa arti diam. Mungkin diam mampu menghindari masalah namun diam tak mampu menyelesaikan masalah.

Suatu saat ketika aku berjalan menuju rumah, dia memanggilku dan menghampiriku. Dia mengungkapkan apa yang seharusnya dia tak ungkapkan. Aku seolah tak berdaya mendengarnya. Dinda merasa telah kehilanganku ketika aku jauh darinya, dan ia tak mengerti perasaannya. Aku hanya diam seolah tak mengerti. Lalu kulanjutkan langkah kaki dengan terbayang kata kata itu. Dia tertunduk dengan raut sedih di wajahnya. Aku semakin tak tahu dan tak mengerti sikapnya padaku.

Tak terasa saat pengumuman kelulusan telah tiba dan tak terasa pula sudah tiga tahun aku telah memendam apa yang akan aku katakan dan menunggu waktu yang tepat untuk berbicara padanya. Aku berfikir untuk mengungkapkannya pada saat acara perpisahan sekolah nanti. Waktu yang tepat telah di depan mata. Saat acara selesai, aku menariknya ke tempat yang memungkinkan untuk aku berbicara adanya. Dia tak mengerti apa yang aku lakukan. Lalu aku mulai bertanya kepadanya.

“Masih ingatkah ketika kita berdua mendaki gunung dan berteriak bersama seperti orang tolol yang baru saja terlepas dari semua beban, masih ingatkah ketika berlari bersama saat mengejar bis kota dan aku menggenggam tanganmu agar tak terlepas, dan masih ingatkah saat kita berdua membuat seribu origami hati yang saat ini masih kusimpan untuk kuberikan padamu, itu kulakukan karana aku cinta kamu dan saat ini perasaanku tak berubah sedikitpun”, aku hanya sanggup berkata seperti itu karena air mataku menetes bersama air matanya.
Lalu dia memeluk erat seakan tak ingin kehilanganku lagi. Aku tahu perasaanya sama dengan perasaanku, karena ternyata dia masih menyimpan setengah dari seribu origami yang dulu pernah kita buat. Lalu kita satukan kembali origami itu agar terlengkapi menjadi seribu origami yang utuh. Dan kita berjanji untuk menjaganya sampai kita bersama selamanya.

Dan sekarang, aku dan dia telah berubah menjadi kita yang penuh harapan. Sekarang aku sadari semuanya. Jodoh memang tak akan tertukar, namun kita harus berusaha untuk menemukannya dan berjuang untuk mempertahankannya. Dan temukanlah tulangmu sebelum waktumu menghilang.

Cerpen Karangan: Willy Irmawan
http://cerpenmu.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar